Investor Menanti Rilis Suku Bunga Uni Eropa, Gimana IHSG? | 01 January 1970
'Indeks pada perdagangan kemarin ditutup melemah ke level 7186. Indeks dibebani oleh sektor Consumer Cyclicals (-0.065%), Energy (-1.362%), Financials (-0.829%), Healthcare (-0.187%), Industrials (-0.039%), Infrastructures (-1.58%), Consumer Non-Cyclical (-0.537%), Properties & Real Estate (-0.129%), Technology (-0.521%), Transportation & Logistic (-0.967%) kendati sedikit ditopang oleh sektor Basic Materials (0.309%). Indeks pada hari ini diperkirakan akan bergerak pada range level support 7160 dan level resistance 7230
Harga aset keuangan domestik kompak melemah kemarin, Rabu (7/9/2022). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), rupiah dan Surat Berharga Negara (SBN) terkoreksi. Setelah mengalami dua hari penguatan beruntun, IHSG akhirnya terbenam di zona merah. IHSG terkoreksi 0,64% dan ditutup di 7.186,76 pada perdagangan kemarin. Meski sempat berbalik ke zona hijau, tetapi penguatan tersebut tak berlangsung lama. IHSG harus rela berakhir di zona merah bersama dengan mayoritas indeks saham acuan Bursa Regional. Di kawasan Asia Pasifik, hanya ada tiga indeks saham yang menguat yaitu indeks SETi Thailand (naik 0,27%), indeks KLCI Malaysia (menguat 0,16%) dan indeks Shang Hai Composite China (naik 0,09%). Sisanya mengalami pelemahan dengan indeks VN Vietnam anjlok paling parah (turun 2,68%). Beruntungnya IHSG masih bisa menduduki peringkat 6 di Asia Pasifik. Kinerja IHSG kemarin masih lebih baik dari indeks bursa saham beberapa negara seperti Filipina, Vietnam, Australia, Hong Kong, Jepang, Korea Selatan dan Taiwan. Kendati IHSG terkoreksi, dana asing masih masuk ke pasar saham domestik. Asing terpantau net buy sebesar Rp 543 miliar di pasar reguler. Pelemahan juga dialami oleh aset minim risiko yaitu obligasi negara. Imbal hasil (yield) SBN 10 tahun terpantau naik 2 basis poin (bps) dan tembus 7,2%. Kenaikan yield mengimplikasikan bahwa harga aset pendapatan tetap (fixed income) tersebut sedang mengalami penurunan. Di pasar spot, nilai tukar rupiah juga mengalami pelemahan. Di hadapan dolar AS, rupiah melemah 0,2% ke Rp 14.915/US$.
Untuk hari ini, investor patut mencermati beberapa sentimen yang dapat menggerakkan harga aset keuangan domestik. Sentimen tersebut kebanyakan dari luar negeri (eksternal) yang cenderung dampaknya akan dominan mempengaruhi kinerja pasar. Pertama tentu terkait dengan keputusan suku bunga acuan bank sentral Uni Eropa (ECB). Dengan laju inflasi yang terus meningkat dan tekanan suplai imbas perang yang belum mereda, ECB diperkirakan bakal mengambil langkah hawkish. Pelaku pasar mulai mengantisipasi ECB akan mengerek suku bunga acuan naik dengan besaran sampai 75 basis poin (bps). Besaran tersebut sama dengan yang dilakukan oleh Fed di bulan Juni dan Juli. Faktor yang melatarbelakangi ECB untuk mengikuti langkah Fed yang agresif mengerek suku bunga acuan adalah inflasi. Di bulan Agustus lalu, laju inflasi di kawasan Benua Biru tembus 9,7% year on year (yoy). Ke depan, pengamat dan pengambil kebijakan memprediksi bahwa laju inflasi masih bisa naik ke level dobel digit. Sinyal ECB yang bakal agresif juga disampaikan oleh pejabatnya yaitu Isabel Schanabel dalam pidatonya di Simposium Tahunan Jackson Hole Wyoming. Inflasi di Zona Euro bisa tembus 10% sehingga kenaikan suku bunga acuan dengan besaran jumbo 75 bps sangatlah mungkin. Kini sudah ada 3 bank sentral Negara Barat yang menempuh kebijakan moneter ketat secara agresif. Ada Fed, ECB dan BoE (bank sentral Inggris). Pengetatan moneter lewat kenaikan suku bunga acuan dan penarikan likuiditas di pasar keuangan tentu saja akan membuat pasar keuangan goyang. Inilah yang harus diwaspadai oleh investor.
Di sisi lain, katalis positif yang selama ini mendorong penguatan IHSG yaitu harga batu bara juga tampak tak bisa diharapkan terlalu banyak. Setelah tembus rekor tertinggi baru di US$ 464/ton, harga si batu hitam melorot. Harga kontrak batu bara termal ICE Newcastle berjangka anjlok 4,71% kemarin dan ditutup di US$ 430/ton.
